"Do’a Malaikat
Jibril Menjelang Ramadhan: Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad
shalallahu ‘alaihi wa sallam, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak
melakukan hal-hal yang berikut:
- = Tidak memohon maaf
terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada)
- = Tidak berma’afan
terlebih dahulu antara suami istri
- = Tidak berma’afan
terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya
Maka Rasulullah pun
mengatakan Amiin sebanyak 3 kali." (al hadits).
Ternyata hadith
tersebut tidak jelas asal-usulnya, bahkan yang dhaif sekalipun, dan hadith
palsu ini telah dijadikan sebagai dalil bermaaf-maafan oleh saudara-saudari
muslim kita di Tanah Air sebelum memasuki bulan Suci Ramadhon. Terselip keanehan ketika seseorang menyampaikan hadith
ini, mereka tidak menyelipkan tentang siapa periwayat hadith. Bukhari kah atau
Muslim? Itulah anehnya kenapa mereka tidak menyebutkan periwayat hadith karena
memang mereka tidak mengetahui asal-asul dari mana datangnya dalil tersebut.
Dan ini menjadi viral di kalangan umat di Tanah Air untuk mengharumkan tradisi
bermaaf-maafan sebelum Ramadhan datang. Harus kita ingat bahwa hadith dhoif,
hadith palsu, dan hadith yang tidak diketahui asal-usulnya tidak boleh
diamalkan, bahkan orang yang ikut
menyebar hadits palsu khawatir masuk ancaman nabi.
”Barangsiapa yang
bersengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia (bersiap untuk) menempati
tempat duduknya di neraka” (HR Muslim).
Nah, kalau memang
niatnya mau minta maaf sebelum Ramadhon kan ndak popo??? Oke kalau ada yang
beralasan seperti, ya, memang tak ada salahnya saling meminta maaf kapan saja
kita mau. Tapi perlu diketahui bahwa meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan
kepada semua orang yang dikenal tidak pernah diajarkan oleh Islam.
Terus kalau masih ada
yang beralasan gini, "Manusia itu kan gak sempurna, kadang salah dan
berbuat dosa, siapa tahu, mungkin telah berbuat salah kepada orang lain tanpa
disadari?"
Ya betul sekali, tapi
apakah dengan alasan itu secara kalap dan serta merta kita meminta maaf kepada
semua orang yang dikenal? Kenapa harus di waktu-waktu tertentu dan khusus saja?
Dan mengapa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para
sahabat tidak pernah berbuat demikian? Padahal mereka orang-orang yang paling
khawatir terhadap dosa. Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak
disadari tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,
“Sesungguhnya Allah
telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena
lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu
Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Jangan sampai kita
terjerumus pada ghuluw (berlebihan), yaitu meminta
maaf kepada semua orang yang dikenal tanpa sebab dalam beragama. Meminta
maaf yang paling baik adalah meminta maaf dengan segera, karena kita tidak
tahu kapan ajal menjemput. Sehingga mengkhususkan suatu waktu untuk
meminta maaf dan dikerjakan secara rutin sebagai ritual tahunan tidak
dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.
Jadi hadith palsu
seputar tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan itu kemungkinan besar didapat
dengan mengutak-atik dari hadith berikut, diriwayatkan oleh Al-Imaam Ibnu Khuzaimah rahimahullah :
حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ
بْنُ سُلَيْمَانَ، أنا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي سُلَيْمَانُ وَهُوَ ابْنُ
بِلالٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ رَبَاحٍ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَقِيَ الْمِنْبَرَ،
فَقَالَ: ” آمِينَ، آمِينَ، آمِينَ “، فَقِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا
كُنْتَ تَصْنَعُ هَذَا؟ ! فَقَالَ: ” قَالَ لِي جِبْرِيلُ: أَرْغَمَ اللَّهُ
أَنْفَ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ دَخَلَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ، فَقُلْتُ:
آمِينَ.
ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، فَقُلْتُ: آمِينَ.
ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ، ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فَقُلْتُ: آمِينَ “
ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، فَقُلْتُ: آمِينَ.
ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ، ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فَقُلْتُ: آمِينَ “
Telah menceritakan kepada kami Ar-Rabii’ bin Sulaimaan[1], telah mengkhabarkan
kepada kami Ibnu Wahb[2], telah mengkhabarkan kepadaku Sulaimaan -dia adalah Ibnu
Bilaal-[3], dari Katsiir bin
Zaid[4], dari Al-Waliid bin
Rabaah[5], dari Abu Hurairah[6] -radhiyallahu
‘anhu-, bahwa suatu hari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam naik mimbar
dan beliau bersabda, “Aamiin, aamiin, aamiin.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai
Rasulullah, apa yang membuatmu mengatakan seperti itu?” Beliau bersabda,
“Jibriil berkata kepadaku, “Semoga Allah menghinakan seorang hamba yang setelah
memasuki Ramadhan, Allah belum mengampuni dirinya.” Maka aku katakan, “Aamiin.”
Kemudian Jibriil berkata, “Terhinalah seorang hamba yang mendapati kedua
orangtuanya masih hidup atau salah satu dari keduanya akan tetapi tidak dapat
membuatnya masuk surga.” Maka aku katakan, “Aamiin.” Kemudian Jibriil berkata,
“Terhinalah seorang hamba ketika namamu disebut di sisinya, ia tidak bershalawat
kepadamu.” Maka aku katakan, “Aamiin.” [Shahiih Ibnu Khuzaimah 3/192].
Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhaariy (Al-Adabul Mufrad
no. 646); Al-Baihaqiy (As-Sunan Al-Kubraa 4/303; Fadhaa’ilul Auqaat
no. 55); Ath-Thabaraaniy (Mu’jam Al-Ausath no. 8994); Ismaa’iil
bin Ishaaq Al-Qaadhiy (Fadhl Ash-Shalaatu ‘Alan Nabiy no. 18).
Footnotes :
[1] Ar-Rabii’ bin
Sulaimaan bin ‘Abdul Jabbaar bin Kaamil, Abu Muhammad Al-Muraadiy Al-Mu’adzdzin
Al-Mishriy. Sahabat dan termasuk murid-murid utama Imam Asy-Syaafi’iy,
seorang yang tsiqah dan jujur, hampir tidak ada perbedaan pendapat mengenai
ketsiqahannya. Wafat pada tahun 270 H. Termasuk thabaqah ke-11. Dipakai oleh
Abu Daawud, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Tahdziibul Kamaal no. 1864; Taqriibut
Tahdziib no. 1894].
[2] ‘Abdullaah
bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih.
Seorang yang tsiqah haafizh lagi ‘aabid. Wafat tahun 197 H. Termasuk thabaqah
ke-9. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy
dan Ibnu Maajah. [Tahdziibul Kamaal no. 3645; Taqriibut Tahdziib no. 3694].
[3] Sulaimaan bin
Bilaal At-Taimiy Al-Qurasyiy, Abu Muhammad atau Abu Ayyuub Al-Madaniy.
Seorang yang tsiqah. Wafat tahun 177 H. Termasuk thabaqah ke-8. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah.
[Taqriibut Tahdziib no. 2539].
[4] Katsiir bin
Zaid Al-Aslamiy, Abu Muhammad Al-Madaniy As-Sahmiy. Terjadi perbedaan
pendapat mengenainya. Maalik telah meriwayatkan haditsnya dan madzhab Maalik
dalam hal ini adalah ia tidaklah meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqah
menurutnya, Ibnu ‘Abdil Barr berkata “Maalik tidaklah meriwayatkan kecuali dari
seorang yang tsiqah”. Dan mengenai Katsiir, Ahmad berkata “tidaklah aku melihat
ada yang salah dengannya”, Ibnu Ma’iin dalam suatu riwayat berkata “tsiqah”,
dalam riwayat lain berkata “shaalih”, dalam riwayat lain berkata “tidak ada
yang salah dengannya”, dan dalam riwayat lain berkata “laisa bi dzaaka al-qawiy
(bukan termasuk perawi yang kuat)”, An-Nasaa’iy mendhaifkannya, Ibnul Madiiniy
berkata “shaalih wa laisa bil qawiy”, Abu Zur’ah berkata “shaduuq, terdapat
kelemahan”, Abu Haatim berkata “shaalih laisa bil qawiy, haditsnya dicatat”,
Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, Ibnu ‘Adiy berkata “aku telah
melihat salinan catatannya, dan aku tidaklah mengetahui ada yang salah
didalamnya, aku berharap bahwasanya ia tidaklah mengapa”, Muhammad bin
‘Abdullaah bin ‘Ammaar berkata “tsiqah”, Ya’quub bin Syaibah berkata “bukan
termasuk perawi yang jatuh (derajatnya)”, Muhammad bin Thaahir Al-Maqdisiy
berkata “Katsiir tidaklah mengapa dengannya”, Ibnu Hajar berkata “shaduuq
terkadang keliru”. Wafat tahun 158 H. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy dalam Juz’u Al-Qiraa’ah, Abu Daawud, At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah.
[Al-Jarh wa At-Ta’diil 7/150; At-Tamhiid 13/188; Dzakhiiratul Huffaazh 2/782;
Tahdziibul Kamaal no. 4941; Miizaanul I’tidaal 5/489; Taqriibut Tahdziib no.
5611].
Basysyar ‘Awwaad dan Syu’aib Al-Arna’uuth berkata “shaduuq hasanul hadits”. [Tahriirut Taqriib 3/192]. Al-Albaaniy berkata “Dia hasanul hadits, insya Allah, selama tidak ada penyelisihan (dari perawi yang lebih kuat)”.
Basysyar ‘Awwaad dan Syu’aib Al-Arna’uuth berkata “shaduuq hasanul hadits”. [Tahriirut Taqriib 3/192]. Al-Albaaniy berkata “Dia hasanul hadits, insya Allah, selama tidak ada penyelisihan (dari perawi yang lebih kuat)”.
[Silsilatu Ash-Shahiihah 3/121]. ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbaad
berkata “Sejumlah ulama telah memujinya, dan mereka yang mendha’ifkannya maka
tidaklah dijelaskan (kedha’ifannya tersebut), dikarenakan mereka menggunakan
lafazh yang mujmal (global)”. [Syarh Sunan Abu Daawud 7/587].
Oleh karena itu dengan mengumpulkan perkataan para ulama diatas,
maka kesimpulannya adalah seperti yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albaaniy dan
Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbaad. Allaahu a’lam.
[5] Al-Waliid bin
Rabaah bin ‘Aashim bin ‘Adiy Ad-Dausiy, Abul Baddaah Al-Madaniy. Abu Haatim
berkata “shaalih”, Al-Bukhaariy berkata “hasanul hadits”, Ibnu Hibbaan
mengeluarkannya dalam Ats-Tsiqaat, Ibnu Hajar berkata “shaduuq”. Wafat tahun
117 H. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam At-Ta’aaliq, Abu
Daawud, At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah. [Tahdziibut Tahdziib no. 10220; Taqriibut
Tahdziib no. 7422].
[6] ‘Abdurrahman
atau ‘Abdullaah bin Shakhr Al-Yamaaniy, Abu Hurairah Ad-Dausiy. Sahabat
Rasulullah yang mulia, sahabat yang paling banyak menghafal hadits-hadits
beliau. Terjadi ikhtilaf seputar namanya dan nama ayahnya, akan tetapi banyak
ulama menguatkan ‘Abdurrahman atau ‘Abdullaah dan nama ayahnya adalah Shakhr.
Lebih dikenal dengan nama kuniyahnya. Wafat tahun 57 H dan dikatakan tahun 58 H
atau 59 H. Termasuk thabaqah ke-1. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Taqriibut Tahdziib no.
8426].
Reference dari berbagai sumber:
- https://muhandisun.wordpress.com/2013/06/24/hadits-bermaaf-maafan-sebelum-bulan-ramadhan/
No comments:
Post a Comment