Saturday, 4 July 2015

AWAASS... Hadist Palsu Tradisi Bermaafan Sebelum Ramadhon


"Do’a Malaikat Jibril Menjelang Ramadhan: Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
-      = Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada)
-      =  Tidak berma’afan terlebih dahulu antara suami istri
-      = Tidak berma’afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya
Maka Rasulullah pun mengatakan Amiin sebanyak 3 kali." (al hadits). 

Ternyata hadith tersebut tidak jelas asal-usulnya, bahkan yang dhaif sekalipun, dan hadith palsu ini telah dijadikan sebagai dalil bermaaf-maafan oleh saudara-saudari muslim kita di Tanah Air sebelum memasuki bulan Suci Ramadhon. Terselip keanehan ketika seseorang menyampaikan hadith ini, mereka tidak menyelipkan tentang siapa periwayat hadith. Bukhari kah atau Muslim? Itulah anehnya kenapa mereka tidak menyebutkan periwayat hadith karena memang mereka tidak mengetahui asal-asul dari mana datangnya dalil tersebut. Dan ini menjadi viral di kalangan umat di Tanah Air untuk mengharumkan tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan datang. Harus kita ingat bahwa hadith dhoif, hadith palsu, dan hadith yang tidak diketahui asal-usulnya tidak boleh diamalkan, bahkan  orang yang ikut menyebar hadits palsu khawatir masuk ancaman nabi. 

”Barangsiapa yang bersengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia (bersiap untuk) menempati tempat duduknya di neraka” (HR Muslim).

Nah, kalau memang niatnya mau minta maaf sebelum Ramadhon kan ndak popo??? Oke kalau ada yang beralasan seperti, ya, memang tak ada salahnya saling meminta maaf kapan saja kita mau. Tapi perlu diketahui bahwa meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang dikenal tidak pernah diajarkan oleh Islam. 

Terus kalau masih ada yang beralasan gini, "Manusia itu kan gak sempurna, kadang salah dan berbuat dosa, siapa tahu, mungkin telah berbuat salah kepada orang lain tanpa disadari?"

Ya betul sekali, tapi apakah dengan alasan itu secara kalap dan serta merta kita meminta maaf kepada semua orang yang dikenal? Kenapa harus di waktu-waktu tertentu dan khusus saja? Dan mengapa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat tidak pernah berbuat demikian? Padahal mereka orang-orang yang paling khawatir terhadap dosa. Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disadari tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Jangan sampai kita terjerumus pada ghuluw (berlebihan)yaitu meminta maaf kepada semua orang yang dikenal tanpa sebab dalam beragama. Meminta maaf yang paling baik adalah meminta maaf dengan segera, karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Sehingga mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan secara rutin sebagai ritual tahunan tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam. 

Jadi hadith palsu seputar tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan itu kemungkinan besar didapat dengan mengutak-atik dari hadith berikut, diriwayatkan oleh Al-Imaam Ibnu Khuzaimah rahimahullah :

حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، أنا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي سُلَيْمَانُ وَهُوَ ابْنُ بِلالٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ رَبَاحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَقِيَ الْمِنْبَرَ، فَقَالَ: ” آمِينَ، آمِينَ، آمِينَ “، فَقِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا كُنْتَ تَصْنَعُ هَذَا؟ ! فَقَالَ: ” قَالَ لِي جِبْرِيلُ: أَرْغَمَ اللَّهُ أَنْفَ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ دَخَلَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ، فَقُلْتُ: آمِينَ.
ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، فَقُلْتُ: آمِينَ.
ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ، ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فَقُلْتُ: آمِينَ “
Telah menceritakan kepada kami Ar-Rabii’ bin Sulaimaan[1], telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb[2], telah mengkhabarkan kepadaku Sulaimaan -dia adalah Ibnu Bilaal-[3], dari Katsiir bin Zaid[4], dari Al-Waliid bin Rabaah[5], dari Abu Hurairah[6] -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa suatu hari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam naik mimbar dan beliau bersabda, “Aamiin, aamiin, aamiin.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu mengatakan seperti itu?” Beliau bersabda, “Jibriil berkata kepadaku, “Semoga Allah menghinakan seorang hamba yang setelah memasuki Ramadhan, Allah belum mengampuni dirinya.” Maka aku katakan, “Aamiin.” Kemudian Jibriil berkata, “Terhinalah seorang hamba yang mendapati kedua orangtuanya masih hidup atau salah satu dari keduanya akan tetapi tidak dapat membuatnya masuk surga.” Maka aku katakan, “Aamiin.” Kemudian Jibriil berkata, “Terhinalah seorang hamba ketika namamu disebut di sisinya, ia tidak bershalawat kepadamu.” Maka aku katakan, “Aamiin.” [Shahiih Ibnu Khuzaimah 3/192].

Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhaariy (Al-Adabul Mufrad no. 646)Al-Baihaqiy (As-Sunan Al-Kubraa 4/303; Fadhaa’ilul Auqaat no. 55)Ath-Thabaraaniy (Mu’jam Al-Ausath no. 8994)Ismaa’iil bin Ishaaq Al-Qaadhiy (Fadhl Ash-Shalaatu ‘Alan Nabiy no. 18).

Footnotes :
[1] Ar-Rabii’ bin Sulaimaan bin ‘Abdul Jabbaar bin Kaamil, Abu Muhammad Al-Muraadiy Al-Mu’adzdzin Al-Mishriy. Sahabat dan termasuk murid-murid utama Imam Asy-Syaafi’iy, seorang yang tsiqah dan jujur, hampir tidak ada perbedaan pendapat mengenai ketsiqahannya. Wafat pada tahun 270 H. Termasuk thabaqah ke-11. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Tahdziibul Kamaal no. 1864; Taqriibut Tahdziib no. 1894].

[2] ‘Abdullaah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih. Seorang yang tsiqah haafizh lagi ‘aabid. Wafat tahun 197 H. Termasuk thabaqah ke-9. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Tahdziibul Kamaal no. 3645; Taqriibut Tahdziib no. 3694].

[3] Sulaimaan bin Bilaal At-Taimiy Al-Qurasyiy, Abu Muhammad atau Abu Ayyuub Al-Madaniy. Seorang yang tsiqah. Wafat tahun 177 H. Termasuk thabaqah ke-8. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Taqriibut Tahdziib no. 2539].

[4] Katsiir bin Zaid Al-Aslamiy, Abu Muhammad Al-Madaniy As-Sahmiy. Terjadi perbedaan pendapat mengenainya. Maalik telah meriwayatkan haditsnya dan madzhab Maalik dalam hal ini adalah ia tidaklah meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqah menurutnya, Ibnu ‘Abdil Barr berkata “Maalik tidaklah meriwayatkan kecuali dari seorang yang tsiqah”. Dan mengenai Katsiir, Ahmad berkata “tidaklah aku melihat ada yang salah dengannya”, Ibnu Ma’iin dalam suatu riwayat berkata “tsiqah”, dalam riwayat lain berkata “shaalih”, dalam riwayat lain berkata “tidak ada yang salah dengannya”, dan dalam riwayat lain berkata “laisa bi dzaaka al-qawiy (bukan termasuk perawi yang kuat)”, An-Nasaa’iy mendhaifkannya, Ibnul Madiiniy berkata “shaalih wa laisa bil qawiy”, Abu Zur’ah berkata “shaduuq, terdapat kelemahan”, Abu Haatim berkata “shaalih laisa bil qawiy, haditsnya dicatat”, Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, Ibnu ‘Adiy berkata “aku telah melihat salinan catatannya, dan aku tidaklah mengetahui ada yang salah didalamnya, aku berharap bahwasanya ia tidaklah mengapa”, Muhammad bin ‘Abdullaah bin ‘Ammaar berkata “tsiqah”, Ya’quub bin Syaibah berkata “bukan termasuk perawi yang jatuh (derajatnya)”, Muhammad bin Thaahir Al-Maqdisiy berkata “Katsiir tidaklah mengapa dengannya”, Ibnu Hajar berkata “shaduuq terkadang keliru”. Wafat tahun 158 H. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’u Al-Qiraa’ah, Abu Daawud, At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah. [Al-Jarh wa At-Ta’diil 7/150; At-Tamhiid 13/188; Dzakhiiratul Huffaazh 2/782; Tahdziibul Kamaal no. 4941; Miizaanul I’tidaal 5/489; Taqriibut Tahdziib no. 5611].
Basysyar ‘Awwaad dan Syu’aib Al-Arna’uuth berkata “shaduuq hasanul hadits”. [Tahriirut Taqriib 3/192]. Al-Albaaniy berkata “Dia hasanul hadits, insya Allah, selama tidak ada penyelisihan (dari perawi yang lebih kuat)”.
[Silsilatu Ash-Shahiihah 3/121]. ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbaad berkata “Sejumlah ulama telah memujinya, dan mereka yang mendha’ifkannya maka tidaklah dijelaskan (kedha’ifannya tersebut), dikarenakan mereka menggunakan lafazh yang mujmal (global)”. [Syarh Sunan Abu Daawud 7/587].
Oleh karena itu dengan mengumpulkan perkataan para ulama diatas, maka kesimpulannya adalah seperti yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albaaniy dan Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbaad. Allaahu a’lam.

[5] Al-Waliid bin Rabaah bin ‘Aashim bin ‘Adiy Ad-Dausiy, Abul Baddaah Al-Madaniy. Abu Haatim berkata “shaalih”, Al-Bukhaariy berkata “hasanul hadits”, Ibnu Hibbaan mengeluarkannya dalam Ats-Tsiqaat, Ibnu Hajar berkata “shaduuq”. Wafat tahun 117 H. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam At-Ta’aaliq, Abu Daawud, At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah. [Tahdziibut Tahdziib no. 10220; Taqriibut Tahdziib no. 7422].

[6] ‘Abdurrahman atau ‘Abdullaah bin Shakhr Al-Yamaaniy, Abu Hurairah Ad-Dausiy. Sahabat Rasulullah yang mulia, sahabat yang paling banyak menghafal hadits-hadits beliau. Terjadi ikhtilaf seputar namanya dan nama ayahnya, akan tetapi banyak ulama menguatkan ‘Abdurrahman atau ‘Abdullaah dan nama ayahnya adalah Shakhr. Lebih dikenal dengan nama kuniyahnya. Wafat tahun 57 H dan dikatakan tahun 58 H atau 59 H. Termasuk thabaqah ke-1. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Taqriibut Tahdziib no. 8426].


Reference dari berbagai sumber:
- https://muhandisun.wordpress.com/2013/06/24/hadits-bermaaf-maafan-sebelum-bulan-ramadhan/

No comments:

Post a Comment